Kondisi perpolitikan Banjarnegara beberapa bulan ke depan akan sangat menarik untuk diperhatikan. Beberapa daerah sudah siap melakukan “Democracy Party” dan panji-panji pemenangan pun sudah banyak berkibar, tetapi mungkin sedikit sekali para “kaum elite politik” yang menyadari bahwa hakekat Pilkada bukanlah merupakan ajang pertarungan untuk memperoleh kekuasaan semata.
Para kontestan seharusnya memahami Pilkada sebagai wadah aktualisasi pemikiran dan eksistensi kaum intelektual terhadap berbagai dinamika dan permasalahan daerah. Realitas yang terjadi hari ini justru para “elite politik” terjebak dalam pragmatisme berpikir dan berpolitik, maka wajarlah bila hari ini masyarakat menjadi apatis terhadap Pilkada.
Pemilihan kepala Daerah kabupaten/kota seharusnya merupakan sarana yang tepat bagi para politisi lokal dalam menciptakan sebuah pencitraan positif otonomi daerah kepada masyarakat. Sudah saatnya para politisi lokal melakukan rekonstruksi terhadap perpolitikan internalnya. Sebagai komunitas intelektual para elite politik memiliki tanggung jawab terhadap permasalahan besar masyarakat, terutama masyarakat miskin.
PILKADA juga harus mengedepankan tawaran-tawaran strategis dan terukur terhadap pencerdasan politik, kesejahteraan, peningkatan kualitas pendidikan, serta berbagai permasalahan daerah. Keseluruhannya bukan hanya janji-janji manis saja tetapi harus rasional, sistematis dan memiliki indikator keberhasilan yang jelas serta jangka waktu yang riil. Iktikat baik tersebut haruslah dimulai dari para kontestan Pilkada yang siap melakukan kontrak politik yang terpublikasikan secara masif dan terikat pada punishment yang jelas.
Kepemimpinan daerah
Kepemimpinan merupakan hal yang relatif abstrak. Ia merupakan seni dan pola-pola sistematis yang terkadang sulit diukur konsistensi dan karakternya. Beberapa dari kita sering mengeneralisasi seorang pemimpin, misalnya, dengan mengatakan pemimpin ini otoriter, karismatis dan populis sedangkan pemimpin yang lain demokratis dan dapat menerima pendapat orang lain.
Pada dasarnya membagi tipe pemimpin bukanlah hal yang salah, tetapi menganggap seorang pemimpin hanyalah orang yang terbentuk dan bekerja dengan hanya satu pola kepemimpinan dan menghilangkan sisi kemanusiaannya yang secara fitrah dinamis, maka kita hanya melihat pemimpin di ruang hampa.
Seorang pemimpin juga merupakan manusia biasa, ia akan selalu mengambil kebijakan berdasarkan berbagai pertimbangan, baik pertimbangan kondisi masalah, situasi, dampak dari kebijakannya, aturan yang ada, hirarki kekuasaan dan sebagainya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang logis jika pengukuran kelayakan seseorang ditempatkan sebagai pemimpin daerah tidak berdasarkan tampilan pribadi, gaya retorika, janji-janji manis, apalagi ketampanan fisik.
Seluruh penilaian kelayakan tersebut haruslah berorientasi kepada kepahaman akan kondisi daerah dan permasalahannya serta solusi yang efektif, tingkat intelektualitas, keberpihakan pada masyarakat miskin dan pinggiran yang keseluruhannya terdapat pada visi yang strategis dan solutif. Berbagai indikator kelayakan tersebut hanya dapat terwujud jika pemimpin daerah memiliki track record dan moralitas yang baik.
Manuver politik Murahan
Seharusnya para kontestan Pilkada menyadari bahwa ”pangsa pasar” yang mereka hadapi tidaklah sama dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Saat ini kebanyakan masyarakat sudah memahami kondisi perpolitikan, mereka mempunyai daya kritis yang tinggi, oleh karena itu ”iklan kecap” pada dasarnya sangat tidak relevan.
Sebaliknya masyarakat juga harus menyadari bahwa keputusan mereka dalam memilih haruslah berdasarkan penilaian objektif terhadap kapabilitas personal dari para calon yang mereka usung, bukan berdasarkan kedekatan emosional, suku atau golongan.
Setelah sepuluh tahun otonomi daerah bergulir, ternyata tidak menumbuhkan perbaikan yang signifikan terhadap daerah, bahkan semakin hari semakin menjauh dari kemajuan dan kesejahteraan sosial yang didambakan masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari dinamika yang begitu kompleks di beberapa daerah, dari mulai perbedaan suku, agama dan keyakinan, organisasi dan pemikiran ditambah lagi dengan fanatisme kelompok yang tidak jarang dijadikan media suksesi para elite politik dalam memperoleh kekuasaan.
Realitas ini dapat terlihat jelas dengan begitu banyaknya para calon ”wakil rakyat” yang sibuk dengan simbol-simbol kedaerahan dan golongan ketika memasuki musim-musim kampanye. Kondisi di atas tentunya masih dianggap wajar bagi sebagian masyarakat, tetapi satu hal yang harus diperhatikan ialah dinamika yang begitu kompleks ini telah membawa para decision maker Indonesia pada konflik yang berkepanjangan dan tidak berujung, sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah kebijakan golongan yang berdiri di atas sentimen kesukuan, kepartaian, kedaerahan, kelompok dan ideologi. Tentunya realitas inilah yang telah membawa bangsa ini semakin hari semakin jauh dari kesejahteraan, yang ada hanyalah manuver-manuver politik yang berorientasi pada interest of community dengan mengatasnamakan rakyat.
Setiap kontestan Pilkada saat ini idealnya mencipakan political culture yang sehat, dengan tidak mengedepankan isu kepartaian, kesukuan, budaya dan golongan tetapi berpijak pada tawaran solusi yang logis dan terukur terhadap berbagai permasalahan yang ada di daerah.
Problem persoalan daerah
Berada di dalam sistim demokrasi diharapkan memberi kontribusi positif yang menyentuh langsung kepada masyarakat bawah. Sebuah harapan yang sangat wajar dari pandangan setiap orang pada demokrasi itu sendiri. Sebagai sebuah negara yang berorientasi pada walfare state sudah seharusnya pemerintah menjadi sarana dalam memberikan rasa aman, kemakmuran dan pemerataan pendidikan.
Masih banyaknya kebutuhan masyrakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah membuat siapapun yang menjadi kepala daerah nantinya akan berhadapan dengan berbagai permasalahan. Selain berbagai permasalahan pokok, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, penerangan, air bersih dan murah, dan lain-lain, masih ada satu permasalahan yang menjadi permasalahan di banyak daerah, yaitu pengangguran,
Ketika kita ingin menilai permasalahan pengangguran secara solutif, maka terlebih dahulu harus melihat mereka sebagai sebuah kelompok manusia yang memiliki kebutuhan hidup yang sama dengan seluruh manusia. Oleh karena itu kita haruslah memperlakukan mereka sebagai manusia dan bagian dari bangsa ini yang mampu survive dalam menghadapi buruknya manajemen perekonomian daerah.
Mereka mengenal estetika dan mereka juga paham fungsi regulasi dan pranata sosial, tetapi mereka juga mempunyai kebutuhan pokok, pendidikan anak-anak mereka yang seharusnya dijamin oleh konstitusi, dan kesejahteraan hidup. Seluruh kebutuhan tersebut tentunya merupakan sebuah universal value yang tidak dapat dipisahkan dari dunia moderen hari ini.
Mungkin seharusnya pemerintah berpikir sedikit manusiawi. Berapa ribu orang yang telah mereka buat tidak makan, tidak ada ongkos pergi ke sekolah, dan tidak mampu membayar buku? dari penggangguran yang belum ada lapangan kerja yang menempung mereka hanya karena persoalan buruknya pelayanan pemerintah.
Sebuah pemandangan yang sangat miris jika kita melihat penganguran banyak anak jalanan tanpa ada kegiatan ekonomi yang menopang mereka. Tidak jarang kegiatan kejahatan yang hanya untuk mempertahankan hidup ini. Belum lagi ditambah dengan pungutan liar petugas dan juga preman intelektual yang terkadang sulit dibedakan, yang mana preman yang mana petugas. Persis seperti zaman kolonial atau bahkan jauh lebih kejam dari itu.
Terlepas dari semua permasalahan daerah yang ada, sudah menjadi sebuah konsekuensi logis dari sebuah perbaikan politik , hanya dapat tercipta jika proses berpolitik memiliki pola-pola konstruktif yang konsisten.
Keseluruhan harapan tersebut hanya akan dapat terwujud dari tangan-tangan yang sudah teruji integritas pribadinya, track record yang baik juga moralitas yang tinggi dan yang terpenting orientasi berfikir yang menjadikan masyarakat kecil sebagai pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan.
( Harmono, SH : Penulis adalah Ketua Umum LSM KPPP Komando Peduli Pembangunan Pedesa/kotaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar