Kamis, 10 Maret 2011

Pilkada Banjarnegara sebagai Momentum untuk Kemajuan



Oleh : Harmono, SH

Tahapan pemilukada sudah dimulai dari penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu  (DP 4) dari Bupati kepada KPUD pada Sabtu (22/1) yang lalu bertanda sudah dimulainya pelaksanaan dan penyelanggaraan pemilukada di Banjarnegara. Disaat yang bersamaan pula KPUD telah melantik panitia pemilihan kecamatan (PPK) sebanyak 100 orang, meski sebelumnya diprotes karena disinyalir sebagian besar yang lolos seleksi bagian dari kekuasaan (incumbent).
Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Banjarnegara, Eko Djunaidi mengatakan, dari hasil rekapitulasi, jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sebanyak 1.073. 240 jiwa. Terdiri dari 545.872 laki-laki, 527.423 perempuan yang mempunyai hak pilih sebanyak 798 637. “Sementara DP4 Kabupaten Banjarnegara sebanyak jumlah pemilih 798.637 orang laki–laki dan perempuan,” ungkapnya.
Partaipun sudah mulai pasang kuda-kuda untuk mengusung bakal calon bupati ataupun wakil bupati. Seperti dilakukan oleh DPC PDIP Banjarnegara, Partai Golkar, PPP, dan PAN yang mempunyai suara signifikan. Ditempat lain Partai Demokrat dan Empat partai Non Parlemen telah mempublikasikan lewat media akan mengusung Pasangan Sutedjo-Hadi Supeno (Djo-No) untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati 2011-2016. Kedua tokoh ini bukan muka baru, diyakini partai pengusung dapat mewakili aspirasi masyarakat. Djo-No juga mendaftar partai lain seperti PDIP, P Golkar dan PPP. Tokoh yang akan maju pada gelanggang 24 Juli mendatang seperti Sutedjo Slamet Utomo (mantan sekda pernah maju pilkada 2006), Hadi Supeno (mantan Wakil Bupati pernah nyalon pilkada 2006), Suhardjo (wakil Bupati sekarang Incumbent), Syamsudin Sekda sekarang incumbent, Waluyo Kepala Bappeda Banjarnegara, Sudewi Mertaningsing (dirut PLN Unggaran asli Banjarnegar), Sutoyo Abadi (mantan DPRD propinsi) Pengusrus DPD I Partai Golkar Asli Banjarnegara, Amrulah Ahmad Pengurus MUI Pusat kelahiran Pejawaran, Toto Hardono Kades Purwonegoro, Dwi Toto Jokowaluyo Guru SMA, bahkan ada yang akan mengikuti lewat jalur Independent pengusaha kontruksi Budi Sarwono yang lebih dikenal Win chin menambah semarak suasana pilkada Banjarnegara. Belum munculnya kaum muda yang mau berani unjuk gigi untuk pilkada kali ini, dikarenakan biaya pilkada yang tidak sedikit. Para calon yang mau berlaga yang berniat maju lewat jalur partai sudah berharap rekomendasi Partai jatuh di pelukan mereka agar dapat melenggangkan sahwat dan ambisi politik.
Hitung yang bagian hari terakhir saja. Andai seorang kandidat harus mengongkosi 10.000 perpemilih, kali jumlah pemilih uang yang ludes mencapai Rp 7 miliar. Jika 50.000 pemilih yang disasar, harus disediakan kurang lebih Rp 20 miliar. Ini baru urusan menjelang pemilihan di hari ”H”. Belum urusan kaos, spanduk, billboard, leaflet, dan macam-macam bantuan plus investasi jangka panjang dan jangka pendek yang harus ditunaikan. Hitung pula biaya pencitraan: promosi, iklan, dan survey.
Jika item serangan fajar itu saja sudah mencapai Rp 7 miliar, seorang kandidat agaknya harus menyediakan modal ”minimal” Rp 10 miliar untuk ikut bertarung di ajang Pilkada. Ini perkiraan biaya yang tak termasuk jor-joran. Kalau ingin "mengalahkan” kompetitor, biaya yang ludes bisa dua sampai tiga kali lipat. Mungkin, yang moderat, di kitaran Rp 25 miliar.
Kalau Pilkada Banjarnegara akan diikuti oleh 4-5 pasangan boleh jadi menghabiskan biaya politik beromset sedikitnya sampai Rp100 miliar. Dana ini sudah cukup membuat jalan hotmix kualitas nomor satu sepanjang 100 km. Ini tak termasuk biaya resmi yang dikeluarkan oleh APBD Kabupaten Banjarnegara untuk penyelenggaraan Pilkada yang disalurkan kepada KPUD, Panwas, atau untuk urusan pengamanan dan satgas Pilkada di lingkungan pemda yang dianggarakan sebesar Rp 14 Milyar untuk dua putaran. Banyak pihak melegitimasi belanja ratusan miliaran rupiah itu sebagai ”ongkos politik”. Juga sebagai sesuatu yang lumrah untuk mendapatkan jabatan prestisius. Tidak mungkin menggapai sesuatu tanpa pengorbanan – demikian pembenaran yang lain. Kata pepatah lama: ”tak ada makan siang yang gratis.” Mungkin, inilah akibat ”demokrasi di tengah perut yang lapar, banyaknya penganguran”. Para pemilih dan yang dipilih masih dikerangkeng oleh logika perut: memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan ”di sini” dan ”saat ini”. Bukan ”nanti” wangsit uange disit pilkada disaat ekonomi sulit kondisi penganguran dan kemiskinan.
Pemilukada yang baru masih sebatas pada ”demokrasi prosedural-formal”, belum pada hal-hal yang bersifat subtansial dan makna hakiki sebuah demokrasi. Dalam kondisi itu, pemilu termasuk Pilkada) tidak ditempatkan sebagai proses sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Tetapi masih dilihat sebagai ”momen” untuk mendapatkan kaos, paket sembako, uang, beras, pesta makan, keliling gratis, dan menciptakan perkoncoan politik dan ekonomi: membangun dinasti baru untuk kelanggengan kekuasaan. 
Situasi ini telah melahirkan kenyataan baru: industri politik. Mungkin inilah tipikal demokrasi di tengah perut lapar dan keserakahan. Sulit dibilang demokrasi telah ditekuk oleh kapitalisme. Sebab kapitalisme membawa nilai-nilai yang rasional dan terbuka dalam memilih, meskipun sangat kental dengan dimensi peruntungan. Mungkin lebih pas: pilkada masih senilai paket sembako. Kita amat sedih. Tapi inilah kenyataannya. Seorang pendatang baru di panggung politik dapat saja menang asal memiliki ”gizi yang berlimpah”. Seorang pemain lama bisa come back dengan modal yang sama. Dan seorang incumbent tetap mengeluarkan belanja yang amat mahal, padahal sudah lima tahun memberi bukti. Modal uang itu pula yang akan memperkuat jaringan kekuatan sampai di tingkat akar rumput. Jaringan formal dan informal dapat dibentuk. Tetapi belum tentu efektif tanpa faktor uang. Pilkada kabupaten/kota di sejumlah tempat menunjukkan, jaringan birokrasi lebih menentukan daripada jaringan partai. Jika keduanya bersinergi, ditambah dengan kekuatan jaringan informal, menjadi sulit ditandingi. Jaringan birokrasi pemda hingga ke desa-desa hanya mungkin dikalahkan oleh jaringan partai dan jaringan informal yang kuat, dengan didukung oleh kekuatan modal (uang) yang hebat.
 Tanpa uang, jaringan apapun –birokrasi, partai, dan informal – akan lumpuh. Jaringan birokrasi bisa saja payah. Tetapi jaringan partai dan informal harus solid, plus memiliki dukungan logistik dan finansial yang kuat. Bisa saja incumbent menguasai jaringan birokrasi dan partai yang solid seperti Contoh di Purbalingga Heru Sujatmoko (incumbent) dapat survive seperti juga di Kota Solo seperti Jokowi. Namun ada yang gagal incumbent seperti di Kebumen 2010 lalu dalam hal ini Bupati Nashichudin dalam hal ini incumbent, dan Banyumas 2008 Sekdanya gagal kemarin. Tetapi jika pendatang memiliki modal yang kuat, punya jaringan informal dan partai yang ok, plus figur yang layak jual, incumbent bisa tumbang. Figur, untuk pilkada di kabupaten/kota, merupakan faktor ketiga. Di Banyumas Mardjoko (muka baru) yang didukung pengusaha dan tokoh partai, meski hanya diusung PKB survieve waktu itu. Mungkin pengaruhnya sekitar 20-25 persen. Sekitar 45% ditentukan oleh kekuatan uang, dan faktor jaringan sekitar 30-35%. Apa boleh buat, pilkada masih memilih sembako, belum memilih figur.
Orang bisa saja membantah dengan argumentasi ini: bukankah sejumlah partai politik menentukan calonnya berdasarkan hasil survey? Benarlah argumentasi ini. Tetapi yang memenangkan survey tetap saja mengeluarkan uang yang (mungkin) lebih banyak dibandingkan dengan yang kalah di survey. Lagi pula survey dilakukan untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhan pemesan: harus menang di Pilkada. Maka survey di ajang Pilkada masih lebih sebagai alat propaganda politik. Demokrasi di ajang pilkada kabupaten/kota makin jauh dari cita-cita hakikinya: membentuk masyarakat yang sehat, bermartabat dan mendapatkan pemimpin yang visioner. Partai-partai politik besar di tingkat nasional makin direpotkan oleh dua hal: memburu target pemenangan pilkada yang belum tercapai, dan pemilu nasional 2014 sudah di depan mata lumbung suara. Pada tataran lokal ada target dan ambisi petinggi partai: ingin punya prestasi dan karena itu mesti sapu bersih. Kombinasi kepentingan tingkat nasional dan lokal ini akan membuat Pilkada dianggap ”momentum hidup atau mati”.  Pilkada Banjarnegara kali ini akan semakin memupuskan harapan partai untuk mengeruk pundi-pundi uang dan memperbesar suaranya dikarenakan para tokoh yang majul jalur partai secara materi minim.
Diperkirakan, pertarungan Pilkada Banjarnegara yang akan dilaksanakan pada 24 Juli mendatang akan makin keras, lebih-lebih ada calon perseorangan keturunan tionghoa yang ingin berpartisipasi maju menambah warna demokrasi, suhu politik meningkat, dan perlombaan sembako akan lebih jor-joran. Pertarungan kekuatan modal (uang) makin terbuka dan terjadi secara kasat mata yang bermain mengegolkan calonnya lewat parpol yang dirasakan yang maju lewat jalur ini minim, ada peran tersembusi dari kaum yang bermodal yang akan memainkan percaturan politik di Banjarnegara. Perebutan pemilih menaikkan tarif, dan akan terjadi mekanisme ”penawar harga tertinggi”. Makan siang bukan cuma tak gratis. Tetapi juga harus menyuguhkan undian, voucher dan/atau hadiah tunai. Usai itu, bandar harus pulang modal. Malah, menurut logika ekonomi, mesti untung. Maka, sesungguhnya yang ’dirampok’ adalah hak rakyat. Tinggal terserah rakyat: Terus menerus pasrah hak-haknya diperkosa, dijarah dan dicampakkan senilai paket sembako. Di lihat dari kesiapan gisi menurut penulis baru calon independen yang siap segalanya, sehingga memupuskan harapan partai untuk panen pilkada kali ini. Disisi lain juga pemilih sudah cerdas dan berpikir dewasa dalam menghadapi pilkada kali ini, mereka tidak mau di bohongi yang kedua kalinya.

Pilkada momentum untuk memajukan Banjarnegara
Isu perubahan sebagai tema kampanye memiliki argumen yang mendasar karena pelaksanaan pilkada yang memerlukan dana yang besar akan menjadi mubazir jika pemimpin yang terpilih nantinya tidak mampu melakukan perubahan-perubahan yang nyata untuk kemaslahatan masyarakat. Namun, ketika isu perubahan digulirkan oleh para calon kepala daerah sering hanya sekadar alat kampanye untuk menarik dukungan masa, bahkan cenderung mengarah pada kebohogan publik. Fenomena itu tercermin dari isu perubahan tidak didukung program kerja yang konkret dan oprasional, serta tidak dukung kontrak politik yang mengikat dengan para pemilihnya.  Isu perubahan kali ini memang juga dapat dianggap sebagai alat, dikarenakan pembangunan kali ini setelah sepuluhtahun berjalan belum ada perubahan yang mencoloki di rasakan warga, Lapangan kerja, penganguran masih menjadi problem Banjarnegara.
Akibatnya, isu kampanye perubahan yang dikedepankan hanya sebatas melakukan propaganda politik dengan cara-cara mengangkat isu-isu politik yang tidak berdasar atau hanya memojokan calon incumbent / calon lain. Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang OBJEKTIF dan RASIONAL untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang anti perubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban.
Perlu peranan semua pihak stacholder agar pilkada kali ini lebih berkualitas, KPUD dalam menjalankan tugasnya tetap independen dan netralitasnya dijamin bukan hanya subtansi normatif seperti di demokan mahasiswa Politeknik Banjarnegara beberapa waktu lalu, namun juga dalam praktek dilapangan, agar dikemudian hari tidak timbul gugatan dari kandidat yang kalah bertarung dalam ajang pilkada. Panwas dalam jeli mengawasi pelaksanaan pemilukada benar-benar profesional tidak memihak salah satu kandidat mendengungkan kebenaran demi masa depan Banjarnegara. Pers sebagai harus mengedapankan pilar keempat demokrasi. Jangan Pers cenderung mereduksi informasi demi kepentingan tertentu, baik dalam bentuk adventorial maupun penyusunan beritanya. Pers melakukan simplifikasi permasalahan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang berkepentingan di dalam rangka Pilkada. Keberadaan pers saat ini hampir-hampir tidak berhubungan dengan “hak masyarakat untuk mengetahui”. Pemilik pers hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan menjadikan persnya sebagai sebuah produk manufaktur. Pembaca bukan lagi tujuan dari kerja pers melainkan menjadi persoalan “statistik” semata. Anehnya, kalangan pers itu sendiri merasa nyaman sebagai “humas” bagi kepentingan politik kandidat tertentu. Tak mengherankan jika masyarakat tidak menemukan adanya perdebatan wacana dan analisa kritis tentang realitas sosial-politik. Pers tidak menggunakan hak investigatifnya untuk mendapat gambaran tentang keseluruhan proses Pilkada. 
Banyak pekerjaan rumah yang harus segera digarap dalam pemerintahan daerah Banjarnegara. Prioritas Program Pembangunan Kabupaten Banjarnegara meski versus Pemda sangat baik namun masih banyak proyek multy year yang belum rampung di masa jabatan Bupati Djasri-Hardjo 2011 seperti Setadion dan Terminal meski sudah diresmikan jauh dari harapan, Masjid agung yang berada di tengah –tengah Ibukota Kabupaten-pun belum juga usai, belum lagi PLTMH Gumiwang yang dicap hanya mengejar proyek masih saja mangkrak diperkirakan banyak pihak tidak akan beroperasi, Pabrik Gula Mini di Susukan juga mengalami hal serupa belum juga beroperasi, di bidang pendidikan tingkat kelulusan anak SD, SMP dan SMA/K juga masih memprihatinkan ditingkat Jateng  dan masih banyak persoalan lain yang belum terendus. Momentum pilkada kali ini sebaiknya di gunakan untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Secara langsung maupun tidak langsung juga, kondisi diatas diakibatkan pula oleh sistem administrasi pemerintah daerah dan kualitas SDM Aparatur yang rendah. Hambatan berupa jalur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit (red-tape), serta tingginya ‘biaya siluman’ untuk memperlancar proses perijinan dan proses-proses administratif lainnya, adalah sedikit contoh dari praktek birokrasi yang menghambat pembangunan Banjarnegara. Dengan kata lain, dalam kinerja makro pembangunan daerah yang memprihatinkan tadi, sesungguhnya terdapat kontribusi dari sektor administrasi publik. Itulah sebabnya, pembangunan aparatur dan pembenahan sektor administrasi publik harus dijadikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka kerja reformasi birokrasi pemda dalam momentum pilkada secara menyeluruh.
 Berdasarkan hasil survey daya saing daerah tingkat Jawa Tengah Kabupaten Banjarnegara masuk pada posisi ke 10 untuk kategori kinerja ekonomi sungguh memprihatinkan. Hal itu terungkap dalam laporan hasil survei yang dilakukan oleh Kepala Badan Penanaman Modal daerah Propinsi Jawa tengah Senin (8/2) dengan Budi Santoso Faudations. Skor Banjarnegara masuk dalam posisi buncit di Karsidenan Banyumas sesuai urutan pertama Purbalingga dengan skor 6, disusul Kabupaten Cilacap dengan skor 5,2, Kabupaten Banyumas  4,6 dan terakhir Kabupaten Banjarnegara dengan 4,2 sebagai Kabupaten dengan kinerja rendah (SM, 9 Feb) kemarin.
Meski Oktober tahun 2009 yang lalu Banjarnegara sudah ditetapkan sebagai Kabupaten tidak tertinggal lagi, namun masih banyak program yang masih menjadi harapan banyak warga Banjarnegara utuk dapat unjuk gigi dengan daerah lain di Jawa Tengah
Ketua LSM Komando Peduli Pembangunan Pedesaan (KPPP) Banjarnegara Pengurus LBH Cahaya Keadilan Banjarnegara Menyukai politik dan sosial

1 komentar:

  1. Saya sepakat bahwa pemilukada mendatang dapat dijadikan momentum untuk memajukan Banjarnegara, namun terdapat ketidakselarasan antara proses pencarian figur (oleh pemilih), dengan kebutuhan akan figur yang bisa memajukan Banjarnegara.
    Sebagai ilustrasi begini ; diatas disebutkan bahwa popularitas, jaringan dan uang sangat menentukan seorang calon yang untuk dapat terpilih, nah pertanyaannya sekarang adalah Apakah calon yang terpilih karena 3 faktor itu dapat dipastikan mempunyai kapasitas untuk memajukan daerahnya?

    BalasHapus