Senin, 14 Maret 2011

Pilkadal:

Cerdaskan Pendidikan Politik Pemilih Banjarnegara


Kurang dari Empat Bulan kedepan, perhelatan akbar demokrasi tingkat lokal yakni Pilkada Kabupaten Banjarnegara akan digelar. Hajatan politik lima tahunan warga Kabupaten Banjarnegara ini sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2011. Dalam limit waktu itu, tentunya, keikutsertaan kandidat dalam kancah pertarungan politik Kabupaten Banjarnegara sudah mulai meningkatkan suhunya yang sudah lumayan panas. Hal ini ditandai dengan bertebarannya wacana dan isu perubahan ditengah masyarakat, baliho sepanduk pengendalan diri kandidat. Fakta seperti ini adalah bagian dari proses pergerakan dinamika politik bangsa yang terus menerus mengalami pembenahan. Suka tidak suka bahwa fakta tadi akan selalu melekat dalam dimensi kehidupan manusia yang berorientasi perubahan. Pada Bulan April ini para pasangan dapat mendaftarkan diri baik perseorangan dan lewat jalur partai sesuai mekanisme yang ada, terutama paska penetapan nomor urut calon, tentu kita sudah bisa rasakan begitu kuatnya tarik menarik kekuatan calon yang satu dengan yang lainnya.

Kandidat yang akan berlaga Tedjo-Peno, Syamsudin-Toto Hardono, Waluyo, Amrullah Ahmad, Suhardjo, Sudewi Mertianingsih, Dwi Toto JW, dan Teni Yuditiana serta Budi Sarwono Pengusaha Kontruksi yang maju lewat jalur independen yang sampai sekarang belum dapat dipastikan berapa jumlah pasangan yang akan berlaga. Partai-partai politik nampak sudah mulai sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai aktivitas yang berorientasi pada penguatan citra dan sosialisasi untuk menarik massa sampai menggelar konvensi penjaringan bakal calon yang akan diusung mereka. Para kandidat yang mendaftar dan akan diusungpun sedang menunggu rekom,endasi dari DPP partai yang dilamarnya. Begitupun halnya dengan kandidat dari jalur perseorangan (independen) sedang lirik kanan kiri siapa yang akan digandeng. Tapi tentunya berbeda, dimana partai politik memiliki masa riil hingga tingkat desa yang ditopang oleh struktur partainya. Sedangkan calon dari perseorangan boleh jadi akan kesulitan untuk bisa massif di masyarakat karena tidak didukung oleh mesin yang jelas. Namun partaipun tidak menjamin kemenangan pasangan yang akan di usung, partai hanyalah sarana kendaraan politik saat mendaftar di KPU. Calon yang dapat merebut simpati pemilih yang mempunyai materi cukup (gizi), jaringan dan figur dapat memenangkan perhelatan ini. Menurut Hasan Hutapea Ketua RT dalam Sinetron Islam KTP yang sering keceplosan mengatakan,” Uang bukan segala-galanya, tetapi dengan uang bisa segala-galanya”. Persaingan pilkada kali ini melibatkan beberapa pasangan ini, sampai saat ini partai politik sedang jual mahal dengan kandidat yang akan digunakan kendaraan politik mereka padahal pasangan yang akan maju masih menimbang pembiayaan dan sisanya dari jalur perseorangan tentunya menjadi sejarah tersendiri bagi perhelatan politik Kabupaten Banjarnegara dalam kontek demokrasi lokal.

Satu sisi, banyaknya pasangan paling tidak mencerminkan kemajuan tersendiri bagi demokrasi lokal. Dimana kesempatan masyarakat untuk memilih dan dipilih sudah memiliki warnanya sendiri dan banyak pilihan. Di sisi lain, banyaknya pasangan ini membutuhkan penguatan pengetahuan pemilih terhadap calon pemimpinnya dan juga pembiayaan perputaran uang dimasyarakat akan beromset milyaran. Diakui atau tidak, banyaknya pasangan akan memunculkan kebingunan masyarakat, apalagi diseret-seret dengan janji-janji manis yang kadang jarang bahkan tidak terbukti. Ujung-ujungnya, kebingungan yang muncul berdampak pada pragmatisme pemilih hingga memiliki pemikiran “ola olih duit, ora nyoblos”. Pilkada yang berorientasi memilih pemimpin yang betul-betul pilihan masyarakat kemudian bergeser menjadi ajang jual beli suara. Voter Education Ekonomi bangsa yang belum bisa beranjak dari keterpurukan, nampaknya masih akan menjadi “barang dagangan” yang cukup menarik untuk ditawarkan. Makanya tak heran jika masyarakat menjadi apatis, dan lebih memilih pragmatis. Penulis kira, sehebat apapun konsep pilkada apabila tidak dilakukan pendidikan politik bagi warga, hanya akan menghambur-hamburkan uang rakyat saja. Pendidikan politik yang dimaksud, tidak hanya sekedar sosialisasi KPU yang dilaksanakan menjelang pelakasanaan Pilkada. KPU dalam hal ini kontribusi terhadap pendidikan politik juga sebatas sosialisasi yang hanya menghamburkan anggaran pilkada, kegiatan hanyalah formalitas. Partai sendiri juga enggan dalam pendidikan politik kadernya, banyak kader yang menggeluti partai hanya mengejar penghasilan sehingga dalam menggerakan mesin partaipun dengan uang, pengurus partai jauh dari idelisme yang melekat dalam peson. Hendaknya pendidikan politik ini dilakukan secara kontinyu oleh partai politik dan stakeholder terkait jauh-jauh hari, tidak mesti hanya karena menghadapi pilkada dan perhelatan politik yang lainnya.

Hal ini penting dilakukan karena pada dasarnya keberlanjutan generasi merupakan keniscayaan sosial yang tidak bisa ditawar-tawar dari berbagai dimensi. Pada konteks inilah pentingnya pendidikan politik bagi pemilih (voter education). Keberadaan pemilih tentunya harus senantiasa menjadi objek kajian bagi suksesnya Pilkada Kabupaten Banjarnegara mendatang, terlebih pemilih pemula. Jumlah pemilih 798.637 jiwa tentunya merangsang kerja ekstra supaya partisipasi mereka maksimal dan minimnya golongan putih yang apatis terhadap perhelatan ini. Untuk mendorong itu, sekali lagi perlu dilakukan upaya pendidikan politik yang betul-betul mencerdaskan masyarakat pemilih itu sendiri. Mereka memahami apa sebetulnya yang menjadi peran dan fungsinya dalam mewujudkan pemimpin daerah yang dipilih secara demokrasi.
Pendidikan politik diarahkan pada kajian mendalam tentang track record figur-pigur calon yang akan bersaing. Sehingga masyarakat bisa menetukan pilihannya sendiri secara obyektif bukan atas dasar paksaan.

Diakui atau tidak, kecenderungan pemilih saat ini seringkali terpengaruh oleh keinginan sesaat, bukan kemudian bicara kepentingan jangka panjang. Kasarnya pilihan seseorang hari ini ditentukan oleh serangan fajar berupa bertebarannya uang menjelang hari H pemilihan.
Jika dilihat dari sisi jumlah nominal tidak bisa diandalkan untuk sekedar mempertahankan hidup pribadi, apalagi membangun daerahnya. Wajar ika kemudian mereka seringkali tidak diperhatikan oleh kandidat yang dipilihnya. Hal ini beralasan tentunya, karena kandidat yang menang kemudian akan berkilah bahwa beliau merasa sudah membeli suara, tidak lebih dari itu. Prilaku jual beli suara yang hanya berorieasi kepentingan “sesaat” hendaknya diganti dengan pola pendidikan politik yang mencerdaskan. Paling tidak masyarakat tercerahkan dan lebih jauh tersadarkan bahwa sebenarnya kemajuan daerahnya bisa ditentukan oleh mereka sendiri. Artinya tidak melulu mengandalkan kepentingan “wangsit (uange disit) atau milih yen olih angpow”. Tapi lebih mengedepankan eksplorasi seluruh potensi sumberdayanya. Menggunakan Hak Diawal diuraikan bahwa masyarakat memiliki hak memilih dan dipilih.

Dalam konteks memilih, hendaknya hak politik mereka mesti dikawal dengan pendidikan politik (politic education) yang memadai. Melalui pendidikan politik ini, masyarakat pemilih dihantarkan pada partisipasi politik yang maksimal dalam kerangka memilih calon pemimpinnnya. Sehingga, hajatan politik semisal pilkada tidak sekedar dianggap ritual lima tahunan belaka. Diakui atau tidak, kejenuhan masyarakat terhadap even-even politik hari ini sebagai bagian dari imbas tidak adanya pendidikan politik yang mencerahkan. Yang ada, mereka hanya diseret-seret pada ruang-ruang konflik semata. Yang lebih parah, mereka seringkali menjadi korban penipuan para elit politik yang selalu mengiming-imingi janji-janji kosong. Tak heran jika menghadapi Pilkada ini, ada beberapa kandidat yang menjanjikan ini dan itu, jika masyarakat memilihnya. Hal model itu wajar dilakukan, karena merupakan bagian dari trik meraih simpati dan dukungan masyarakat, terutama pemilih. Menjadi tidak wajar jika substansi demokrasi tidak pernah disampaikan oleh para kandidat, karena hanya akan membentuk masyarakat yang materialistis, bahkan pragmatis. Jika ini masih saja dilakukan, sampai kapanpun masyarakat hanya sekedar menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari para kandidat yang hanya berorientasi menginginkan dukungan suara semata.
Penulis kira, jangan sampai istilah “habis manis sepah dibuang” atau hanya sebagai kuda troya, selalu mewarnai proses demokratisasi masyarakat melalui hajatan politik, terlebih pilkada. Paling tidak, melalui pendidikan politik ini menghasilkan beberapa hal strategis; pertama, tumbuhnya kesadaran berpolitik masyarakat, terlebih bagi pemilih pemula. Sehingga masyarakat tidak lagi sekedar menjadi penonton, tapi betul-betul menjadi aktornya. Kedua, masyarakat memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara dengan baik. Pemahaman ini penting dalam kerangka mendobrak pemahaman “yang penting beda pilihan” tanpa ada rasionalisasi yang jelas dan terukur.
Ketiga, masyarakat pemilih secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya. Yang harus menjadi catatan, menentukan pilihan mestinya didasari oleh kajian yang medalam, tidak asal pilih, apalagi hanya karena diberi uang atau materi lain sehari sebelum pelaksanaan pemilihan di TPS. Pada hakikatnya politik bukan untuk ditakuti atau dijauhi selayaknya barang haram, apalagi dikotori. Politik hanya perlu dibersihkan dari sifat licik, penipuan, pemaksaan, intimidasi dan lain sebagainya. Wallahu’alam bi ash-showab. Harmono, SH adalah koordinator LSM KPPP Banjarnegara menyukai politik, sosial dan hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar