Yang Tak Kusangka
Mei 8th, 2007
Aku punya seorang tetangga yang tinggal di seberang rumah. Namanya Ana,
dan kupanggil Ci Ana, karena ia seorang wanita keturunan Chinese.
Sebenarnya aku tidak suka pada gaya dan cara hidupnya yang menurutku
‘ngegampangin’ apa-apa. Ia suka memandang ringan pada semua hal.
Termasuk hubungan dengan tetangga sekitarnya. Ci Ana ini sudah menikah
dan punya anak satu, Rachel namanya.
Wanita tetanggaku ini memang orang yang bertipe mudah bergaul dan ia
gampang akrab dengan siapa saja, termasuk dengan isteriku, Rini. Kadang
aku muak bila Ci Ana ini sering memanggil orang dari kejauhan seperti
memanggil seekor anjing. Tapi tidak apalah, pikirku, mungkin udah jadi
kebiasaannya. Kalo denganku, aku sengaja tidak mau akrab. Entah kenapa.
Mungkin karena aku tidak mau bergaul dengan sembarang orang atau karena
memang aku tidak suka dengan tetanggaku yang tergolong baru pindah
sekitar dua bulan yang lalu itu.
Sekitar seminggu yang lalu, saat hendak berangkat ke kantor aku tanpa
sengaja menengadah dan memperhatikan seseorang berjalan mendekati
isteriku yang akan naik mobil kami. Kebetulan saat itu aku sudah ada
dalam mobil dan hendak menginjak pedal gas. Ternyata si Ci Ana.
Kebetulan ia hendak pergi ke arah yang berlawanan. Waktu lewat, kulihat
ia mengenakan kaos hadiah dari produk cat “CATYLAC” dengan tulisan merah
dan kaosnya itu amat tipis dengan warna dasar putih. Wah.. Buah dadanya
itu lho. Tidak kusangka ia punya payudara yang besar. Kayaknya lebih
besar dari punya isteriku.
Sepanjang perjalanan ke kantor, badanku terasa panas dingin memikirkan
payudaranya itu. Oh.. andaikata aku punya kesempatan.. aku ingin tidur
dengannya.. atau paling tidak kalo dia tidak mau, aku akan memaksanya.
Aku ingin menikmati payudaranya. Orangnya memang cantik, tinggi dan
putih. Walau berkacamata, dapat kulihat wanita itu kelihatannya memiliki
gairah seks yang tinggi. Entah hanya khayalanku saja atau memang
demikian adanya. Rupanya kesempatan itu akhirnya datang juga.
Dua hari yang lalu, saat lingkungan tempat tinggal kami sedang sepi,
terjadilah hal yang tidak kusangka-sangka. Saat aku pulang beristirahat
pada sekitar pukul dua belas, seseorang wanita memanggilku. Waktu itu
aku hendak menutup dan mengunci pintu pagar.
“Win..! Sini bentar, Win.”
Ternyata Ci Ana. Kudekati dia di pintu pagar rumahnya lalu aku bertanya padanya dengan hati dag-dig-dug tak karuan.
“Ada apa Ci?”
Sambil membuka pintu pagar ia menjawab, “Masuklah dulu.. ada sesuatu yang hendak aku bicarakan..”
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku mengikutinya masuk ke dalam rumah
(tentunya setelah pagar itu aku tutup dan kunci). Di ruang tamu, aku
kemudian duduk dengan perasaan deg-degan. Sementara ia berjalan masuk ke
kamarnya. Beberapa menit kemudian ia muncul dengan membawa sebuah kotak
berukuran sedang.
“Aku mau tanya ini, Win.. kamu ‘kan pintar bahasa Inggris. Terjemahin
ya, untuk aku. Kotak ini isinya kamu lihat sendiri aja deh..” ujarnya
dengan wajah bersemu merah. Entah kenapa.
Kuraih kotak dan kertas yang berisi petunjuk tentang cara pemakaian
benda di dalamnya. Kotaknya memang masih terbungkus rapih. Saat kubuka
bungkusnya, aku kaget bukan kepalang. Tidak pikir benda apa, eh tidak
tahunya itu alat kelamin pria alias penis palsu terbuat dari semacam
plastik yang dapat digerakkan sesuai dengan kemauan pemakainya. Alat itu
harus menggunakan arus listrik. Setelah kubaca petunjuknya, lalu
kujelaskan pada Ci Ana.
“Ci.. daripada Cici pakai alat ini, mendingan pake yang aslinya aja
gimana.. Maaf, Ko Teddy (nama suaminya) ‘kan pasti mau tiap malam..”
jawabku sambil memandangnya.
“Wah, Win.. dia jangan diharapin deh.. pulang malam terus..
Datang-datang pengennya tidur aja.. jadi gimana mau melakukan hubungan
intim, Win.. sementara wanita kayak aku ‘kan butuh dicukupin juga dong
kebutuhan biologisnya..” jawabnya enteng namun wajahnya masih terlihat
bersemu merah. Ia pun tertunduk setelah itu.
“Gimana kalo.. aku aja yang mencoba memuaskan Ci Ana..?” tanyaku tiba-tiba.
Aku tidak percaya dengan suaraku sendiri. Beraninya aku berkata begitu
pada wanita tetangga yang sudah bersuami. Bisa repot nih jadinya.
“Apa kamu bilang? Enak aja kamu ngomong. Emang kamu mau dilemparin
tetangga lain. Berselingkuh seperti itu nggak boleh tahu..!” jawab Ci
Ana dengan nada tinggi.
Baru sekarang aku melihatnya benar-benar marah. Menyesal juga jadinya.
Beberapa lama kami pun berdiam diri. Lalu Ci Ana bangkit dari duduknya
dan sepertinya ia hendak mengambilkan minum untukku.
“Nggak usah repot-repot, Ci.. Sebentar lagi juga aku pulang..” ujarku mencoba merebut kembali hatinya.
Tidak kusangka ia malah membalas, “Ngaco.. siapa yang mau ngambilin
minum buat kamu.. aku mau minum sendiri kok.. Udah sana, pulang aja. Dan
terima kasih udah terjemahin petunjuk alat itu..” jawabnya masih dengan
nada ketus.
Aku pun bangkit dari dudukku. Namun saat aku hendak berjalan keluar, tiba-tiba muncul ide jahatku.
Dengan berjalan berjingkat-jingkat, kuikuti ke arah mana si Ci Ana
berjalan. Rupanya ia menuju kamar tidurnya. Kebetulan jalan menuju pintu
kamar, dibatasi oleh korden. Aku pun bersembunyi dibalik korden itu.
Untunglah ia tidak menutup pintu kamar itu sama sekali. Kulihat ia
membelakangiku, lalu pelan-pelan menarik kaos ketatnya ke atas dan
menurunkan celana panjangnya. Rupanya ia mau mandi.
Lalu perlahan-lahan kudekati pintu kamar itu. Ci Ana mulai membuka BH
dan celana dalamnya yang berwarna krem. Kemudian ia meraih jubah
mandinya yang tergeletak di tempat tidur. Sebelum ia sempat menutupi
tubuhnya yang telanjang, aku segera berlari dan menubruknya. Buk..! Ia
terjatuh dengan keras ke tempat tidurnya yang besar.
“Aduh..! Lepaskan..! Win.., kok kamu belum pulang, hah..? Mau apa kamu..?” ujarnya kaget setengah mati.
“Aku mau buktikan bahwa alat punyaku lebih hebat dari penis buatan itu, Ci..” jawabku dengan tegas.
“Nggak.. nggak mau.. nanti kalo suamiku pulang gimana..?” tanyanya lagi dengan nada ketus.
Karena sudah berada di atas tubuhnya yang telanjang, tanpa buang waktu
lagi, aku mengangkangkan kakinya, dan terlihatlah lubang vaginanya yang
berwarna merah muda. Dengan cepat kumasukkan jari tengahku ke dalamnya.
Ci Ana perlahan-lahan mengendurkan perlawanannya. Dari tadi ia terus
mendorongku supaya aku segera terjatuh dari tempat tidur. Kepalanya
mulai bergerak ke sana kemari. Aku langsung mengincar buah dadanya yang
besar dan padat. Putingnya kuhisap dan kujilat. Kanan dan kiri.. kanan
dan kiri.
Suara tanda ia mulai terangsang mulai terdengar.
“Ah.. ah.. ah..” erangnya.
“Masukkan sekarang Win.. aku sudah tidak tahan lagi.” ujarnya di tengah-tengah kenikmatan yang ia alami.
“Tapi kontolku belum tegang, Ci.. dihisap, ya..!” ujarku sambil menyodorkan senjataku ke mulutnya.
Kebetulan mulutnya sedang terbuka. Kaget juga jadinya dia. Aku memaju
mundurkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Luar biasa hisapan
mulutnya. Walaupun punyaku jadi basah, namun senjata andalanku itu
langsung mengeras. Segera kutarik dari mulutnya. Sebenarnya, Ci Ana
tidak rela melepaskan senjataku dari hisapan mulutnya. Ia mungkin ingin
terus mengulumnya sampai air maniku muncrat ke dalam mulut dan
kerongkongannya.
Beberapa menit kemudian, aku menyibak rambut kemaluannya yang tebal
serta hitam. Bibir kemaluannya kusingkap dengan perlahan. Setelah
mengetahui persis letak lubang senggamanya, kuarahkan penisku ke sana,
dan dengan sekali hujaman, amblaslah penisku ke lubang surga dunia itu.
Aku terus menghujamkan senjataku. Maju-mundur-maju-mundur.., bless..
ceplak.. cepluk.. memang lain rasanya bila bersetubuh dengan wanita yang
sudah pernah melahirkan. Sepertinya penisku tidak menghadapi halangan
berarti. Sementara Ci Ana mulai bereaksi dengan menggerakkan pantatnya
secara memutar. Senjataku seperti dikocok-kocoknya dalam vaginanya.
Sudah lima belas menit, namun pertarungan birahi kami belum juga usai.
Kami pun kemudian berganti posisi. Ci Ana sekarang dengan posisi
menungging. Aku bersiap menusuknya dari belakang. Kuarahkan senjataku ke
mulut kemaluannya sekali lagi. Sementara tangan kanannya membuka mulut
vaginanya dengan lebar. Bless.. bless.. bles.., penisku masuk dengan
lancar dan pasti. Tangan kananku meraih pinggangnya, sementara tangan
kiriku memain-mainkan payudara kirinya. Tampak kepalanya menengadah
setiap kali tusukanku kuulangi. Tiba-tiba ia menjerit sambil kedua
tangannya memegang kepala ranjang dengan kuat.
“Ah.. ah.. ah.. ah..!” rupanya ia orgasme, namun aku belum juga mencapai puncak. Memang aku lumayan perkasa kali ini.
Beberapa menit berlalu.
Ci Ana akhirnya bilang, “Win, kamu tiduran sok.. aku yang aktif sekarang.. biar sama-sama dong orgasmenya.”
Setelah aku berbaring, ia meraih penisku yang amat keras dan tegak dan
dihisapnya sambil jongkok di sebelah kananku. Ia juga menjilat dan
mengulum batanganku. Duh.. duh.. duh.. seperti melayang di awan-awan aku
dibuatnya.
“Wah, sebentar lagi kalau kuteruskan bisa-bisa aku nyemprotin mani di mulutnya nih.” pikirku.
Lalu buru-buru aku menyuruhnya duduk di atas penisku. Ia pun memegang
penisku dan dengan pelan-pelan duduk di atasnya sambil mengarahkan ke
bibir vaginanya. Dan.. bles.. jeb.. bless.. jeb! Kulihat penisku seperti
tenggelam dalam vaginanya. Aku hanya dapat merem melek jadinya. Ci Ana
terus saja bergerak ke sana kemari. Naik-turun, kanan-kiri dan setelah
beberapa saat ia melakukannya, aku merasakan ada sesuatu yang akan
meledak dalam tubuhku. Segera saja aku bangkit sambil memeluk tubuhnya
yang masih ada di atas selangkanganku.
“Ah.. ah.. ah.. ah.. crot..! Crot! Crot! Crot..! Crot..!” sebanyak sembilan kali semprotan maniku masuk ke dalam vaginanya.
Sesudah itu kami tiduran karena kelelahan. Ci Ana masih memeluk tubuhku.
“Win, aku sebenarnya sudah lama ingin berhubungan intim denganmu.. aku
tahu kau punya senjata yang hebat. Jauh lebih hebat dari suamiku yang
loyo. Cuma aku belum mendapatkan kesempatan untuk itu. Makanya aku
pancing kau dengan alat penis buatan itu. Jadi jangan marah ya. Tadi aku
bersuara ketus seolah-olah menolak kamu hanya permainan saja. Aku mau
tahu seberapa tahan kamu melihat tubuh wanita sepertiku. Makanya aku
tadi tidak menutup pintu kamar. Karena kutahu pasti kamu belum pulang
dan kamu tidak akan pulang sebelum kamu bisa menaklukkanku..” ujarnya
tiba-tiba sambil tangannya membelai pelan penis kebanggaanku yang sudah
mulai mengecil.
Tidak kusangka ia mengatakan itu. Memang benar dugaanku. Ternyata Ci Ana
memang hiperseks. Ia mau dengan siapa saja dan kapan saja memuaskan
hasrat seksnya yang menggebu-gebu. Duh gusti, enaknya punya tetangga
seperti dia. Oh ya pembaca, bagi Anda yang berjenis kelamin wanita, baik
itu ibu-ibu maupun gadis muda alias ABG yang suka nge-sex dan ingin
mencoba penis andalanku, silakan menghubungi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar