Endi Biaro
Tanggerang-
Mata hati Indonesia pernah terhenyak. Manakala ratusan ribu manusia
tergulung Tsunami ganas di Aceh, 2004 lalu. Lalu rangkaian kisah-kisah
tragis bermunculan. Di saat yang tak terlalu lama, juga hadir
kisah-kisah menggetarkan kalbu.
Per individu, bukan satu dua
manusia yang bisa selamat, dengan cara yang bisa disebut sebagai
mukzijat. Mereka adalah orang-orang yang selamat, meski Gulungan Ombak
Besar (atau Tsunami) menghumbalang ke seluruh garis pantai. Ada yang
selamat karena naik pohon kelapa. Terapung (tetapi tetap hidup)
berhari-hari di tengah lautan. Atau juga bayi yang tetap hidup meski
sempat terseret arus.
Senyatanya, kisah-kisah ajaib seperti itu
tak benar-benar baru. Selalu hadir cerita menakjubkan, dari rupa-rupa
epik bencana besar yang ada di dunia.
Lain perkara, bila
aksi-aksi "penyelamatkan diri" dari bencana itu hadir karena upaya
bersama. Atau, paling tidak, ikhtiar penyelamatan yang dilakukan karena
gerak kesadaran yang sungguh-sungguh. Inilah sebenarnya yang jauh lebih
menggetarkan. Publik Indonesia pun, sejatinya, mampu melakukan itu.
Manakala ribuan atau jutaan orang ikut membantu para korban Tsunami
Aceh. Mulai dari menjadi relawan, pendonor, hingga sekedar member dana
(di jalanan, atau transfer ke Bank).
Akan sangat berbeda, jika
cerita orang yang selamat dari bencana karena faktor kebetulan atau luck
semata-mata. Mungkin mata sembab karena haru. Tetapi semuanya akan
segera berlalu. Beda bila konteks "orang selamat" karena daya juang dan
mentalitas setegar karang. Inilah yang terjadi, misalnya, ketika 33
orang penambang Cile terkubur di dalam lubang tambang (berkedalaman
hampir 700 meter). Mereka terjebak di dasar perut bumi. Daya juang,
disiplin, kepemimpinan, dan keyakinan untuk selamat, menjadi faktor
penolong. Selain, tentu saja konsentrasi dan totalitas pertolongan yang
diberikan kepada mereka.
Mentalitas
Di mana pun, tragedi
bencana alam (natural disaster) punya daya rusak hebat. Seringkali
manusia tak siap. Pun ketika kecanggihan teknologi, metode deteksi dini
(early warning system) terpasang canggih, atau sudah mampu merekayasa
mitigasi bencana dengan baik. Tetap saja, korban berjatuhan. Barangkali
ini juga bagian dari petunjuk agar manusia tidak sombong dengan
kedigdayaan dalam teknolog. Karena toh, misalnya, hewan ternak, unggas,
dan beberapa mamalia, jauh lebih mampu mendeteksi potensi Tsunami
(seperti cerita Gajah Thailand, burung-burung, dan ayam, yang
berhamburan gelisah, ketika Tsunami akan meledak).
Jadi, petikan
hikmah dari segala bencana tak lain adalah membangun mentalitas tegar,
agar skala kerusakan tak mengalami eskalasi (pembesaran). Bukankah
kerapkali korban berjatuhan justru karena panik luar biasa, tak tahu
harus berbuat, dan kalang kabut tak tentu arah. Bukankah pula, karena
mental mistis-takhayul juga menambah para manusia yang celaka (bukan
menghindar, malah mendekati wilayah yang berbahaya).
Inilah yang
agaknya, menjadi rangkaian kesigapan warga Jepang. Benar korban telah
berjatuhan. Prahara hebat juga menghancurkan banyak fasilitas dan
bangunan di sana. Tetapi ada perilaku dan cara yang menggetarkan kalbu.
Betapa di tengah kepungan bahaya, mereka masih memperlihatkan sikap
tenang, disiplin, dan saling mengingatkan untuk tidak panik. Berita di
media memperlihatkan, bagaimana ribuan orang tetap tertib untuk antri
(dalam melakukan evakuasi). Kalaupun ada warga Jepang yang kelimpungan,
itu tak berlangsung lama. Karena kolega atau manusia di sekitarnya
saling mengingatkan. "Daijobu!" Demikianlah kata-kata pengingat sesama
mereka, yang artinya: tidak ada apa-apa.
Fenomena ini tentu tak
hadir tiba-tiba. Mental disiplin, percaya pada nalar, dan berbuat secara
sadar dan sistematis, dalam banyak hal membantu dalam menekan besaran
kerusakan akibat bencana. Di Jepang, tradisi ini sudah mengakar.
Maklumlah, negeri Sakura ini masuk dalam ring of fire, lingkaran bencana
alam yang sering terjadi (terutama gempa). Tetapi mereka tidak meratap
dan frustasi. Kecuali malah berbuat bijak. Bersiap dengan segala hal.
Satu contoh yang gampang dipetik adalah menciptakan struktur bangunan
yang tahan gempa. Begitulah…
Bagaimana Kita?
Berbalik
punggung dengan pengalaman kita. Kita bukannya tak menerapkan metode
kendali bencana atau apapun yang disebut sebagai mitigasi bencana.
Tetapi selalu saja persoalan menjadi tambah rumit. Kepanikan massal,
seperti yang terjadi di Manado, Maluku, dan Papua, menyusul Tsunami
Jepang kemarin adalah bagian dari ketidaksiapan mental itu. Mulai dari
mental pihak yang memiliki otoritas, untuk memberikan informasi yang
akurat, mental dari pejabat yang abai melakukan perbuatan standar untuk
mengendalikan situasi, hingga mentalitas warga itu sendiri. Akibatnya,
seperti kabar yang beredar, Kota Manado mengalami macet di mana-mana.
Saripati
pelajaran dari Tsunami Jepang yang lainnya terletak pada mental untuk
berbuat paska bencana. Terdengar sepi di negeri ini, tentang penemuan,
inovasi, atau metode untuk menghindar, mengurangi, dan penyelamatan
sistematis dari bencana. Mentalitas kita adalah Gone With The Wind
(semuanya lalu bersama angin).
Balaraja, Tangerang, Banten
rendi_biaro@yahoo.co.id
082111425279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar